Selasa, 19 April 2011

Telur Paskah

(Wikipedia bahasa Indonesia)

Telur Paskah berasal dari tradisi kesuburan kaum Indo-Eropa dimana telur merupakan simbol musim semi. Di masa silam, di Persia, orang biasa saling menghadiahkan telur pada saat perayaan musim semi, yang bagi mereka juga menandakan dimulainya tahun yang baru.
Pada abad-abad pertama kekristenan, tradisi ini sulit dihapus karena hari Paskah memang kebetulan jatuh pada setiap awal musim semi. Perayaan musim semi selalu dirayakan dengan meriah mengiringi kegembiraan meninggalkan musim dingin. Tumbuh-tumbuhan dan bunga mulai tumbuh dan bermekaran, dan suasana keceriaan seperti ini menjadi saat yang tepat untuk membagi-bagikan hadiah.
Membagi-bagikan telur pada hari Paskah akhirnya diterima oleh gereja selain untuk merayakan datangnya musim semi, juga karena telur memberikan gambaran/simbol akan adanya kehidupan. Dalam Kristen, telur mendapatkan makna religius, yaitu sebagai simbol makam batu dimana Yesus keluar menyongsong hidup baru melalui kebangkitan-Nya. Selain itu ada alasan yang sangat praktis menjadikan telur sebagai tanda istimewa Paskah, yaitu karena dulu telur merupakan salah satu makanan pantang selama Masa Prapaskah. Umat Kristen sejak awal telah mewarnai telur-telur Paskah dengan warna-warna cerah, meminta berkat atasnya, menyantapnya, serta memberikannya kepada teman dan sahabat sebagai hadiah Paskah.
Tradisi telur Paskah berkembang di antara bangsa-bangsa Eropa Utara dan di Asia. Tetapi, di Eropa Selatan dan juga di Amerika Selatan, tradisi telur Paskah tidak pernah menjadi populer.

Tradisi

Pada abad pertengahan, menurut tradisi telur-telur dibagikan pada Hari Raya Paskah kepada semua pelayan. Terdapat catatan bahwa Raja Edward I dari Inggris (1307) memerintahkan agar 450 butir telur direbus menjelang Paskah, diberi warna atau dibungkus dengan daun keemasan, yang kemudian akan dibagi-bagikannya kepada seluruh anggota keluarga kerajaan pada Hari Raya Paskah.
Telur Paskah biasanya dibagikan kepada anak-anak sebagai hadiah Paskah bersama dengan hadiah-hadiah lain. Kebiasaan ini berakar kuat di Jerman di mana telur-telur disebut Dingeier (telur-telur yang dihutang). Sehingga berkembanglah berbagai macam pantun di Perancis, Jerman, Austria dan Inggris, di mana anak-anak, bahkan hingga sekarang, menuntut telur-telur Paskah sebagai hadiah mereka.
Di beberapa daerah di Irlandia, anak-anak mengumpulkan telur-telur angsa dan bebek sepanjang Pekan Suci, untuk diberikan sebagai hadiah pada Minggu Paskah. Sebelumnya, pada Minggu Palma, mereka membuat sarang-sarang kecil dari batu, dan sepanjang Pekan Suci mereka mengumpulkan sebanyak mungkin telur, menyimpannya dalam sarang-sarang batu mereka yang tersembunyi. Pada Minggu Paskah, mereka memakan semuanya, membaginya dengan anak-anak lain yang masih terlalu kecil untuk mengumpulkan telur-telur mereka sendiri.
Orang-orang dewasa juga memberikan telur-telur sebagai hadiah di Irlandia. Jumlah telur yang akan dihadiahkan ditentukan menurut peribahasa kuno di kalangan rakyat Irlandia: Satu telur untuk pria sejati; dua telur untuk pria terhormat; tiga telur untuk yang miskin; empat telur untuk yang termiskin/pengemis.

Hiasan

Di kebanyakan negara, telur-telur diberi warna polos dengan pewarna dari tumbuh-tumbuhan. Di kalangan orang Kasdim, Suriah dan Yunani, umat saling menghadiahkan telur-telur berwarna merah demi menghormati darah Kristus. Di daerah-daerah di Jerman dan Austria, hanya telur-telur berwarna hijau saja yang dipergunakan pada Hari Kamis Putih, tetapi telur-telur yang berwarna-warni dipergunakan selama perayaan Paskah. Orang-orang Slavia membuat pola-pola istimewa dengan emas dan perak.
Di Jerman dan di beberapa negara Eropa tengah, telur-telur yang dipergunakan untuk memasak hidangan Paskah tidak dipecahkan, melainkan ditusuk dengan jarum di kedua ujungnya, lalu isinya dikeluarkan dengan meniupnya ke dalam mangkok. Kulit-kulit telur kosong diberikan kepada anak-anak untuk dipergunakan dalam berbagai macam permainan Paskah. Di beberapa daerah di Jerman, kulit-kulit telur kosong tersebut digantungkan pada semak-semak dan pohon sepanjang Pekan Paskah, mirip pohon Natal. Orang-orang Armenia menghiasi kulit telur kosong mereka dengan gambar-gambar Kristus yang Bangkit, Bunda Maria, dan gambar-gambar religius lainnya, untuk diberikan kepada anak-anak sebagai hadiah Paskah.

Permainan

Masa Paskah merupakan masa bermain-main dengan telur di seluruh daratan Eropa. Lomba telur tumbuk dengan berbagai macam variasinya banyak dilakukan di Suriah, Irak, dan juga Iran. Di Norwegia, permainan itu disebut knekke (ketuk). Di Jerman, Austria dan Perancis, telur yang direbus keras digelindingkan di lapangan atau bukit dan saling diadu. telur yang tetap tak retak hingga akhir dinyatakan sebagai telur kemenangan. Permainan ini amat digemari di Amerika Serikat lewat pesta telur gelinding di lapangan Gedung Putih di Washington.
Tradisi umum lainnya di antara anak-anak adalah perlombaan mencari telur, baik di dalam rumah maupun di kebun pada hari Minggu Paskah. Di Perancis, anak-anak mendengarkan dongeng bahwa telur-telur Paskah dijatuhkan dari lonceng-lonceng gereja dalam perjalanan mereka kembali dari Roma. Di Jerman dan Austria, keranjang-keranjang kecil berisi telur, kue-kue serta permen diletakkan di tempat-tempat tersembunyi, dan anak-anak percaya bahwa kelinci Paskah, yang juga begitu populer di negeri ini, telah meletakkan telur-telur itu beserta permennya.
Di Rusia dan Ukraina dan juga Polandia, orang memulai santapan Paskah mereka dengan penuh sukacita setelah masa puasa Prapaskah yang panjang dengan sebutir telur yang telah diberkati pada hari Minggu Paskah. Sebelum duduk makan, sang bapak akan dengan hati-hati membagikan sepotong bagian kecil dari telur Paskah kepada setiap anggota keluarga dan para tamu, sembari mengucapkan selamat berbahagia di hari yang kudus ini. Sebelum mereka memakan telur bagian mereka dalam keheningan, mereka tidak akan duduk untuk menyantap jamuan Paskah mereka.

Serba-serbi

Telur paskah yang termahal di dunia adalah hasil kreasi dari seorang seniman asal Perancis Peter Carl Fabergé (1846 - 1920) harga per telurnya tidak ada yang di bawah sepuluh juta dollar AS. Pada perayaan Paskah 1884, Faberge membuatkan telur hias dari emas dengan dibubuhi intan dan berlian untuk Tsar Alexander III. Telur hias itu dibuat sebagai hadiah bagi permaisuri Tsar. Faberge membuat telur hias kurang lebih sebanyak 54 butir. Sekarang, delapan butir di antaranya raib. Sisanya dikoleksi oleh orang-orang terkaya di dunia, termasuk Ratu Inggris dan anggota Kerajaan Monako



SELAMAT PASKAH

Kamis, 03 Maret 2011

GOAR-GOAR NI GONDANG GONSI BATAK TOBA

Angka onma goar-goar ni gonsi naung huparguruhon sian angka dongan pargonsi dohot sian angka natua-tua naumboto ruhut ni gonsi
GONDANG NAPITU :
1. Gondang mula-mula
2. Gondang somba-somba
3. Gondang sampur marmeme
4. Gondang didang-didang
5. Sampur marorot
6. Gondang simonang-monang
7. Gondang sitio-tio
Gondang napitu on dipangido hasuhuton ditingki mambuat tua ni gondang.
Mangihuthon hatorangan ni angka natua-tua ndang apala sipangidoon ni suhut gondang hasahatan, Raja panggohi do mangido i.
Gondang tu Mulajadi taringot tu panompa na dihasiangan dohot hajolmaon.
8. Gondang Debata Mulajadi
9. Gondang Debata Guru
10. Gondang Debata Asi-Asi
11. Gondang Mula Jadi
12. Gondang mula horas
13. Gondang mula iang
14. Gondang mula paningaon
15. Gondang mula songti
Gondang pangidoan ni harajaon hagabeon dohot parhorasan
16. Gondang siatur maranak
17. Gondang siatur marboru
18. Gondang siatur marpahompu
19. Gondang siatur marnini marnono
20. Gondang siatur mar ondok-ondok indik-indik
21. Gondang namarhaha maranggi
22. Gondang sibane-bane
23. Gondang saurmatua
24. Gondang saudara
25. Gondang harajaon
26. Gondang satahi saoloan
27. Gondang amana/boruna
28. Gondang parjugia sopipot
29. Gondang paramak sobalon on
30. Gondang parrambuan so ra mahiang
31. Gondang siantan sidabuan siboto buhu ni taon
32. Gondang siapul na tangis sielek na mardandi
33. Gondang sahala pangajari/panuturi
34. Gondang sidas-das boru muli
35. Gondang siapoi anak mangoli
36. Gondang olop-olop
37. Gondang rompulima hotang marulak
38. Gondang mangaliat
39. Gondang sunini ampang naopat
40. Gondang tarsingot tusahala dohot napinarsahalaan ni mula jadi
41. Gondang batara guru (tuhan debata)
42. Gondang bala bulan
43. Gondang debata sori
44. Gondang sori mangaraja
45. Gondang sorba di banua
46. Gondang sibagot ni pohan
47. Godnang sariburaja
48. Gondang siraja biak-biak
49. Gondang puraja bonang-bonang
50. Gondang sijonggi raja pareme
51. Gondang Simarimbulubosi
52. Gondang Singamangaraja
53. Gondang patuan nagari patuan anggi
54. Gondang Sagala raja
55. Gondang Silahisabungan
56. Gondang pagar ni aji
57. Gondang Nairasaon
58. Gondang dung dang soaloon mataniari sosuharon
59. Gondang Raja Buntal
60. Gondang Raja Uti
61. Gondang Raja Mangalambung
62. Gondang sipongki nangolngolan
63. Gondang tuan ni api
64. Gondang sijonggi paok-paok
65. Gondang sijonggi bujur
66. Gondang tuan jori ni tangan
67. Gondang tampar dasar
68. Gondang pangurason
69. Gondang pane nabolon
70. Gondang pusuk buhit
71. Gondang sianjur mula-mula
72. Gondang simanuk-manuk
73. Gondang dolok surungan
74. Gondang dolok tolong
75. Gondang banua holing
76. Gondang naga baling
77. Gondang padoha
78. Gondang taringot boru (naung dianggap dewi)
79. Gondang siboru deak parujar
80. Gondang si boru donda hatahutan
81. Gondang siboru saniang naga dilaut
82. Gondang si boru Naipospos
83. Gondang siboru daeng namora
84. Gondang siboru parmual sitio-tio
85. Gondang siboru pinta maomasan
86. Gondang siboru saroding
87. Gondang siboru parhorasan
88. Gondang siboru pareme
89. Gondang boru nasindar dolok
90. Gondang siboru tumbaga
91. Gondang siboru lopian nauli
92. Gondang sipiso somalim
93. Gondang situan jori ni tangan
94. Gondang siboru tapiomas palangki
Goar-goar ni gondang naposo bulung
95. Gondang siburuk
96. Gondang sibane doli
97. Gondang sitapitola
98. Gondang siboru illa-illa
99. Gondang siboru enggan
100. Gondang siboru sanggul miling-iling
101. Gondang sibunga jambu
102. Gondang pinasa sidung-dungon
103. Gondang sibintang purasa
104. Gondang silote dolok
105. Gondang alit-alit aman jabatan
106. Gondang marhusip
107. Gondang parhabang ni siruba
108. Gondang sahali tuginjang sahali tutoru
109. Gondang tohur-tohur ni bajar-bajar langit somatombuk tano somagang-gang
110. Gondang pidong patia raja
111. Gondang pidong imbulu buntal
112. Gondang anduhur titi, anduhur tabu
113. Gondang sipitu dai
114. Gondang ni pargonsi sisia sauduran pulik pulik pandohan.
Goar-goar ni gondang monsak
115. Gondang haro-haro mandailing
116. Gondang silima-lima ni hurlang
117. Gondang siratutuslimapulu
118. Gondang tongging
119. Gondang ni napuran silima sabobohan sisada haroburan

P. SITORUS [Pargonsi sian Parsambilan Kec. Silaen]

Rabu, 16 Februari 2011

Rumah Adat Batak

Rumah Adat Batak Toba disebut Rumah Bolon, yang memiliki bangunan empat persegi panjang yang kadang-kadang ditempati oleh 5 sampai 6 keluarga. Memasuki Rumah Bolon ini harus menaiki tangga yang terletak di tengah-tengah rumah, dengan jumlah anak tangga yang ganjil. Bila orang hendak masuk rumah tersebut, harus menundukkan kepala agar tidak terbentur pada balok yang melintang. Hal ini diartikan tamu harus menghormati si pemilik rumah.
Lantai rumah adat batak ini kadang-kadang sampai 1,75m di atas tanah dan bagian bawah dipergunakan untuk memelihara hewan, seperti babi, ayam, dan sebagainya. Pintu masuk rumah adat ini, dahulunya memiliki 2 macam daun pintu yaitu daun pintu yang horizontal dan vertikal, tapi sekarang daun pintu yang horizontal tak dipakai lagi. Ruangan dalam rumah adat merupakan ruangan terbuka tanpa kamar-kamar, walaupun bersamaan disitu lebih dari satu keluarga, tapi bukan berarti tidak ada pembagian ruangan. Karena dalam rumah adat ini pembagian ruangan dibatasi oleh adat mereka yang kuat.
Ruangan di belakang sudut sebelah kanan dinamakan jabu bong, yang ditempati oleh kepala rumah atau porjabu bong, dengan isteri dan anak-anak yang masih kecil. Namun di sudut kiri berhadapan dengan Jabu bong dinamakan Jabu Soding, yang dikhususkan untuk anak perempuan yang telah menikah tapi belum mempunyai rumah sendiri. Sedangkan untuk sudut kiri depan dinamakan Jabu Suhat, diperuntukkan bagi anak laki-laki tertua yang sudah nikah dan di seberangnya disebut Tampar Piring diperuntukkan bagi tamu.
Jika keluarga besar maka diadakan tempat di antara dua ruang atau jabu yang berdempetan, sehingga ruangan bertambah dua lagi dan ruangan ini disebut Jabu Tonga-ronga ni jabu rona. Walaupun rumah tersebut berdempetan, tiap keluarga mempunyai dapur sendiri yang terletak di belakang rumah, berupa bangunan tambahan. Dan di antara dua deretan ruangan yakni di tengah-tengah rumah merupakan daerah netral yang disebut telaga dan berfungsi sebagai tempat bermusyawarah.
Rumah adat Batak Toba berdasarkan fungsinya dapat dibedakan ke dalam rumah yang digunakan untuk tempat tinggal keluarga disebut ruma, dan rumah yang digunakan sebagai tempat penyimpanan (lumbung) disebut Sopo. Bahan-bahan bangunan terdiri dari kayu dengan tiang-tiang yang besar dan kokoh. Dinding dari papan atau tepas, lantai juga dari papan sedangkan atap dari ijuk atau daun rumbiah. Tipe khas rumah adat Batak Toba adalah bentuk atapnya yang melengkung dan pada ujung atap sebelah depan.

Sabtu, 29 Januari 2011

Legenda Tuak

Pohon Enau dalam bahasa Indonesia disebut pohon aren, dan sugar palm atau gomuti palm dalam bahasa Inggris. Di Sumatera, tumbuhan ini dikenal dengan berbagai sebutan, di antaranya ‘nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk, dan bagot’. Tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik dan mampu mendatangkan hasil yang melimpah pada daerah-daerah yang tanahnya subur, terutama pada daerah berketinggian antara 500-800 meter di atas permukaan laut, misalnya di Tanah Karo Sumatera Utara.
Tumbuhan enau atau aren dapat menghasilkan banyak hal, yang menjadikannya populer sebagai tanaman serba-guna, setelah tumbuhan kelapa. Salah satunya adalah tuak(nira). Selain sebagai minuman sehari-hari, tuak memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan sosial-budaya bagi sebagian masyarakat Batak di Sumatera Utara, terutama yang tinggal di daerah dataran tinggi.
Dalam tradisi orang Batak, tuak juga digunakan pada upacara-upacara tertentu, seperti upacara manuan ompu-ompu dan manulangi. Pada upacara manuan ompu-ompu, tuak digunakan untuk menyiram beberapa jenis tanaman yang ditanam di atas tambak orang-orang yang sudah bercucu meninggal dunia.
Sementara dalam upacara manulangi, tuak merupakan salah satu jenis bahan sesaji yang mutlak dipersembahkan kepada arwah seseorang yang telah meninggal dunia oleh anak-cucunya. Pertanyaannya adalah kenapa tuak(nira) memiliki fungsi yang amat penting dalam kehidupan sosial-budaya orang Batak?
Menurut cerita, pohon enau merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Beru Sibou. Peristiwa penjelmaan gadis itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kesetiaan si Beru kepada abangnya, Tare Iluh. Ia tidak tega melihat penderitaan abangnya yang sedang dipasung oleh penduduk suatu negeri. Oleh karena itu, ia mencoba untuk menolongnya. Apa yang menyebabkan Abangnya, Tare Iluh, dipasung oleh penduduk negeri itu? Bagaimana cara Beru Siboau menolong abangnya?
Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Yang pertama seorang laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama Beru Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang istri-lah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari bekerja keras, wanita itu pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya yang masih kecil itu, kini menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibinya, adik dari ayah mereka.
Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah mulai berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia memutuskan pergi merantau untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.
“Adikku, Beru!” demikian si Tare Iluh memanggil adiknya.
“Ada apa, Bang!” jawab Beru.
“Kita sudah lama diasuh dan dihidupi oleh bibi. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?” tanya Tare Iluh kepada adiknya.
“Tapi, bagaimana dengan aku, Bang?” Beru balik bertanya.
“Adikku! Kamu di sini saja menemani bibi. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan segera kembali menemani adik di sini,” bujuk Tare kepada adiknya.
“Baiklah, Bang! Tapi, Abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil,” kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat hati.
“Tentu, Adikku!” kata Tare dengan penuh keyakinan.
Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat untuk merantau ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Beru Sibou sangat sedih. Ia merasa telah kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang banyak.
Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukannya di perantauan. Sementara itu, Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, si Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian itu, yaitu ketika pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami kekalahan.
Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, si Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat. Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga si Beru Sibou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan abangnya yang sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada. Sudah berhari-hari si Beru Sibou berjalan kaki tanpa arah dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyebrangi sungai, namun belum juga menemukan abangnya. Suatu ketika, si Beru Sibou bertemu dengan seor ang kakek tua.
“Selamat sore, Kek!”
“Sore, Cucuku!” Ada yang bisa kakek bantu?”
“Iya, Kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan abang saya?”
“Siapa nama abangmu?”
“Tare Iluh, Kek!”
“Tare Iluh…? Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.”
“Benar, Kek! Saya juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada sekarang.
Apakah kakek tahu di mana negeri itu?
“Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu.”
“Apakah saran Kakek itu?”
“Panjatlah sebuah pohon yang tinggi. Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu. Barangkali ia bisa mendengarnya. Setelah menyampaikan sarannya, sang Kakek pun segera pergi. Sementara si Beru Sibou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi melepaskannya.
Sudah berjam-jam si Beru Sibou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
“Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dan merelakan air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk negeri yang memasung abangku.”
Baru saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut si Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou tiba-tiba menjelma menjadi pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.
Demikianlah cerita “Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Tanah Karo meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Beru Sibou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman dahulu setiap ingin menyadap nira, mereka menyanyikan lagu enau.
Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Di antara pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah memupuk sifat tenggang rasa dan menjunjung tinggi persaudaraan, serta akibat buruk dari suka bermain judi. sifat tenggang rasa. Sifat ini tercermin pada sifat Beru Sibou yang sangat menjunjung tinggi tenggang rasa dan persaudaraan. Ia rela mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dengan menjelma menjadi pohon yang dapat dimanfaatkan orang-orang yang telah memasung abangnya. Hal ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari hukuman pasung yang telah menimpa abangnya tersebut. Sifat tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini patut untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.

Perkawinan Adat Batak

Masyarakat Batak terkenal sangat bangga akan kebudayaannya. Mereka akan mudah diidentifikasi hanya dari namanya. Keistimewaan adat Batak bukan hanya pada pemberian nama sesuai marga, melainkan bersentuhan dengan upacara adat perkawinan. Perkawinan adat Batak tidak jauh “merepotkan” dibanding upacara adat perkawinan daerah lain. Berbicara mengenai adat istiadat, sama halnya kita berbicara mengenai peraturan, aturan main.
Bedanya, aturan main satu ini berkenaan dengan hukum adat yang biasanya bersifat mengikat. Bagi masyarakat Batak, upacara atau peristiwa yang memiliki nilai ikatan norma paling kuat adalah upacara adat perkawinan dan upacara adat saat kematian. Pelanggaran terhadap kedua upacara adat tersebut akan berakibat hukuman berupa sanksi moral.
Urutan prosesi dalam upacara perkawinan adat Batak terbagi dalam beberapa tahap penting. Semua tahap tersebut sudah seharusnya dilakukan guna menaati norma adat dan peraturan yang tidak terlulis tersebut. Masyarakat Batak mengenal istilah raja adat untuk berbagai prosesi adat yang dilakukannya. Raja adat adalah seseorang yang sudah dianggap paham betul mengenai hal-hal bersangkutan dengan adat istiadat Batak.
Selain memahami berbagai seluk beluk, larangan, serta aturan adat istiadat Batak, raja adat haruslah bersikap sabar, memiliki loyalitas tinggi terhadap adat dan aturan, dapat berkomunikasi dengan baik, sopan santun dalam setiap perilaku dan berbicara, memegang teguh pendirian, tegas, dan tidak semena-mena.
Upacara Perkawinan Adat Batak
 1. Mangariksa dan Pabangkit hata
Prosesi awal saat masyarakat Batak akan melangsungkan sebuah upacara perkawinan adalah mangariksa. Mangariksa adalah kunjungan yang dilakukan pihak keluarga calon mempelai pria kepada wanita. Setelah kunjungan tersebut dirasa telah diterima oleh pihak perempuan, dilanjutkan dengan prosesi pabangkit hata.
Prosesi ini merupakan kata lain dari lamaran. Lamaran dilakukan pihak keluarga pria kepada pihak keluarga perempuan. Hal ini dilakukan tentu saja atas kesepakatan kedua belah pihak yang akan menikah. Keluarga calon mempelai pria serta-merta membawa barang-barang hantaran untuk calon mempelai wanita. Barang hantaran biasanya berupa kain dan cincin emas.
2. Hori-Hori Dinding atau Marhori-Hori Dinding
Prosesi ini dilakukan setelah kedua pihak keluarga setuju menikahkan putra-putrinya. Hal yang dilakukan pada prosesi ini adalah membicarakan lebih lanjut mengenai rencana pernikahan, berkenaan dengan pesta perkawinan. Prosesi ini hanya boleh diketahui pihak keluarga. Setelah terjadi sebuah kesepakatan, barulah pihak keluarga memberitahu pada masyarakat luas.
3. Patua Hata
Prosesi bersifat lebih serius. Dalam prosesi ini, kedua mempelai diingatkan bahwa hubungan yang mereka jalin sudah berkenaan dengan banyak hal diluar mereka berdua.
4. Marhata Sinamot
Pada prosesi ini, pihak keluarga pria mendatangi pihak keluarga wanita dan bisanya membicarakan permasalahan uang jujur atau orang Batak menyebutnya dengan tuhor.
5. Pudun Sauta
Prosesi ini bisa juga dikatakan sebagai makan bersama kedua keluarga. Makanan yang dibawa tentu saja berasal dari pihak keluarga pria. Lauk yang dibawa biasanya berupa daging. Setelah kedua belah pihak keluarga makan bersama, jambar juhut atau daging ikut dibagikan kepada kerabat dari pihak keluarga.
6. Martumpol
Kedua belah pihak orang tua calon mempelai menandatangani surat persetujuan pernikahan bagi putra-putri mereka. Surat tersebut kemudian didaftarkan di gereja setempat. Kemudian, berita mengenai pernikahan tersebut diberitahukan kepada para jemaat gereja. Bila selama dua minggu para jemaat gereja tidak ada yang keberatan, pemberkatan nikah bisa dilaksanakan.
7. Martonggo Raja
Prosesi ini merupakan seremonial dari pernikahan yang akan digelar. Sekaligus memberitahukan kepada masyarakat mengenai waktu dan tempat diadakan pesta agar tidak ada pesta pernikahan yang digelar pada hari yang sama.
8. Manjalo Pasu-Pasu Parbagason
Kata lain dari prosesi ini adalah pemberkatan kedua pengantin yang dilakukan oleh pihak gereja. Setelah pemberkatan dilakukan, kedua belah pihak keluarga melakukan pesta unjuk.
9. Pesta Unjuk
Prosesi ini merupakan puncak dari upacara perkawinan adat Batak. Semua keluarga berpesta dengan membagi-bagikan jambar atau daging pada seluruh pihak keluarga.

Suku Batak

Sejarah

Topografi dan alam Tapanuli yang subur, telah menarik orang-orang Melayu Tua (Proto Melayu) untuk bermigrasi ke wilayah Danau Toba sekitar 4.000 - 7.000 tahun lalu. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang-orang Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke Sumatera dan Filipina sekitar 2.500 tahun lalu, dan kemungkinan orang Batak termasuk ke dalam rombongan ini.[2]. Selama abad ke-13, orang Batak melakukan hubungan dengan kerajaan Pagaruyung di Minangkabau yang mana hal ini telah menginspirasikan pengembangan aksara Batak.[3]. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kamper yang diusahakan oleh petani-petani Batak di pedalaman. Produksi kamper dari tanah Batak berkualitas cukup baik, sehingga kamper menjadi komoditi utama pertanian orang Batak, disamping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera[4]. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kamper banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal[5].

Identitas Batak

R.W Liddle menyatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatera bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar.[6] Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial.[7] Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah "Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang Toba istri dari putra pendeta Batak menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Bukit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pusatak Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.[8]

Penyebaran agama

Masuknya Islam

Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang "liar yang musyrik" dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak.[9] Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Protestan.[10] Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo, Pakpak, dan Dairi.

Misionaris Kristen

Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak.[11] Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri.[12]
Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.[13].
Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.[14]
Masyarakat Toba dan Karo menyerap agama Nasrani dengan cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya[15]. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia-Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.[16]

Gereja HKBP

Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan perawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan.[17]

Kepercayaan

Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:
  • Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
  • Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
  • Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.

Kekerabatan

Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosilogis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs narga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosopi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.

Falsafah dan sistem kemasyarakatan

Dalihan na Tolu

Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni Tungku nan Tiga atau dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu, yakni Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru ditambah Sihal-sihal. Dalam Bahasa Batak Angkola Dalihan na Tolu terdiri dari Mora, Kahanggi, dan Anak Boru
  • Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak). Sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
  • Dongan Tubu/Kahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
  • Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun burfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifak kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raji no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.

Ritual kanibalisme

Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang bertujuan untuk memperkuat tondi pemakan itu. Secara khusus, darah, jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.
Dalam memoir Marco Polo yang tinggal di pantai timur Sumatera dari bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan pernah berjumpa dengan rakyat bukit yang ia sebut sebagai "pemakan manusia".[18] Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa menceritakan ritual tersebut.
Niccolò de 'Conti (1395-1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia Tenggara (1414-1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak: "Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup berperang terus-menerus kepada tetangga mereka ".[19][20]
Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan.[21] Raffles menyatakan bahwa: "Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi".[22]
Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari sebelumnya.[23] Namun hal ini terkadang untuk menakut-nakuti calon penjajah dan sesekali untuk mendapatkan pekerjaan sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang diganggu oleh bajak laut.[24]
Oscar von Kessel mengunjungi Silindung di tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan lemon harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.[25]
Ida Pfeiffer Laura mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".[26]
Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali mereka.[27] Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan nampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun 1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh Islam dalam masyarakat Batak.[28]

Tarombo

Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak khusunya kaum laki-laki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.

Kontroversi

Sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Wacana itu muncul disebabkan karena pada umumnya kategori "Batak" dipandang rendah oleh bangsa-bangsa lain. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak. Di pesisir timur laut Sumatera, khususnya di Kota Medan, perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi. Sumber lainnya menyatakan kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jenderal James Stanford Raffless yang membuat etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan Batak. Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing (Angkola) dan Karo, umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Demikian juga di Angkola, yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal dari wilayah sekitar Danau Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari pembuatan afdeeling Bataklanden oleh pemerintah Hindia Belanda, yang melarang penduduk muslim bermukim di wilayah tersebut.
Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922),[29] dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009).
Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis Batak.[30]





 

Sejarah HKBP

Seklilas Sejarah HKBP

Angka Taon Siingoton


1824

Parbarita nauli naparjolo tu tano Batak: Pdt. Burton dohot Pdt. Ward nasinuru ni Huria Babtis Inggris

1825-1829

Porangni tuanku Rao( Porang Bonjol) Namamorangi bangso Batak.

1834

Ro Pdt.Samuel Munson dohor Pdt. Hendy Lyman nasinuru ni Kongsi Sending Boston, alai mate tarbunu do Pandita naduai di lobu pining.

1840

Tuan Junghun pahapistaran taringot tu hata, luat dohot bangso ro manangkasi tano Batak, gabe diboto halak eropa taringot tu bangso Batak.

1849

Tuan Vander Turk sian Amsterdam nasinuru ni kongsi

1861

·31 Maret : naparjolo tardidi sian halak batak, ima Simon Siregar dohot Jakkobus Tampubolon nididihon nii Pdt.Van asselt di Sipirok
·7 Oktober: Rapot ni opat pandita di Sipirok lao marsagi ulaon di Tapanuli, ima Pdt. Heine, Pdt. Klammer, Pdt.Betz, dohot Pdt.Van Asselt. Ari ima nasongon parmulaan ni pangulaon ni Rheinsche Mission di tano Batak jala nagabe ari hatutubu ni HKBP.

1862

Haojak ni huria pangaloan dohot Sigompulon Pahae.

1864

·Mei, Jonjong Gareja di Sipirok
·20 Mei di pukka Ompui Pdt.Dr. IL Nommensen godung huta dame di sait ni huta Oppusumurung.
·29 Mei, di patupa Ompui parmingguon naparjolo di Godung Hutadame, jala ima nagabe ari haoojak ni Huriahutadame saitnihuta dohot pearaja, Huria naparjolo pinaojak ni Ompui di tano Batak. ( sisada hasuhuton di Huria dame saitnihuta dohot pearaja di pesta jubileum). Nadohot do di parmingguon I angka dongan nasian parbubu doho Hutagalung.
·25 Desember, naparjolo tardidi di Gareja Sipirok, ima Tomas Siregar Pilipus Hutabarat, dohot Johannes Hutabarat.

1865

27 Agustus, 13 halak naparjolo tardidi di silinding

1867

29Maret, hajongjong ni HKBP pansurpitu
1868
Parmualaan ni sikkola Guru di parausoran sipirok. Siscanna napajolo, ima Tomas, Paulus, Markus, Johannes, dohot Eprain. Guruna : Dr. A Schreiber dohot Leipold.
1870
Parmulaan ni huria sibolga dohot sipaholon
1872
·Hajongjong ni singkola normal ni pamarenta di tapanuli Selatan
·Hajongjong ni Huria Bahalbatu humbang.
1877
Hajonjong ni seminarium pansurnapitu. Siseanna 12 halak
1878
·Di salin Ompui Pdt.Dr. IL.Nommensen padan naimbaru tu hata batak namarsurat Batak dohot latin.
·Masuk 306 huta di silindung tu gomgoman ni Gubernemen Bolanda.
1879
Di padas Pdt. Dr. A. Schreiber padan naimbaru tu hata batak angkola
1881
·Haojak ni Huria balige
·Aturan ni Huria naparjolo
·Tarpillit Pdt. Dr. IL:Nomensen gabe Ephorus naparjolo
1883
Parmulaan ni singkola pandita sian halak Batak, ima ; Johannes Siregar, Markus Siregar, Petrus Nasution, dohot Johannes Sitompul. ( Johannes Sitompul monding andorang sotammat)
1885
19 juli, : pamasumasuon Pandita naparjolo di pearaja, ima Johannes Siregar, Markus Siregar dohot Petrus Nasution
1889
·Parmulaanni pangajarion tuangka ina, namarbaju, dohot dakdanak boruboru
·13 April. Ro Nn. Hester Needham(23 januari 1843)
·12 Mei 1887) nasinuruni RMG mamungka ulaon di silindung, niurupan ni Nn. Tora
·Nn. Nieman di toba
1890
·1 januari, habibinsar ni surat IMMANUEL.
·8 januari, Nn. Hester needham mangula ulaon di pansurnapitu di tongatonga ni angka dakdanak dohot naposobulung boruboru, akka ina dohot namabalu, jala dohot mangurupi di panogunoguon di akka parsiajar sikkola pandita di seminari pansurnapitu
1893
Sikkola Sending namanjalo subsidi sian pamarenta.
1894
Di salin Pdt. PH . Johansen padan narobi tu hata Batak
1895
16 juli, borhat Nn hester Needham tu muara sipongi kota nopan, nidonganan nisada anakboru mandailing, namargoan si Nomi.
1896
·3 mei – 26 juni, Nn. Hester Needham mangula di Malintang, patupahon pandonohion na mansai manattu parugamona asing ma mangingani Mandailing na metmeti (little Mandailing).
·Juli , Nn. Hester needham mangula di maga , laos monding jala tartanomdi tano naung tinuhor nahian disi.(Taon 2002 dipaunsat tu pargodungan HKBP aegbikke ).
1898
Habibinsar ni calendar huria
1899
Parmulaan ni pardonganon Mission Batak , na marulaon tu pulau Samosir, Simalungun, dohot Pakpak Dairi .
1900
·Jongjong sikola Anak niRaja na marhata Bolanda di narumonda. Guruna .:Pholing dohot pdt . otto Marcks. Laos disi do muse jongjong sikola tukang.
·2 juni , parmulaan ni Rumah sakit pearaja , na munsat tu Tarutung di taon1928.
·5 september , jongjong bagas inganan ni angka namarsahit hulit di huta salem Laguboti.
1901
Munsat seminarium Pansurnapitu tu sipoholon.

1903
Pamungkaan ni ulaon sendingdi tano Simalungun.
1905
·Sikola Anak ni Raja ni narumonda gabe Seminarium.
·7 oktober, pestaparningotandiari hatutubu ni huriadi tano Batak na parjolo disandok HKBP.
1907
Hajongjongnihuria Pematang Siantar.
1908
27 april , hatutubu ni Huria SidikalangDairi .
1911.
·Hollands Island School ( sikola bolanda ).di Sigompulon Tarutung.
·Hajongjong ni Distrik di HKBP , I ma:1. Distrik Angkola (na gabe Distrik Tapanuli Selatan, 2. Distrik Silindung,3. Distrik Humbang, 4.Distrik Toba Samosir (na gabe Distrik Toba), dohot 5. DISTRIK Simalungun-Ooskust ( na gabeDistrik Sumatera Timur).
1912
Haojak ni Pandita di Medan.
1915
Hademangon di Tapanuli.
1917
Jongjong Hatopan Christen Batak(HCh.B),organisasi masyarakat Batak di Tapanuli.
1918
23 Mei, hamomonding ni Ompui Ephorus Pdt.Dr. IL.Nommensen di Sigumpar.

1918-1920

Ds.V Kessel gabe pejabat Ephorus .

1919

Hajongjong ni HIS Sending di Narumonda

1920

Pdt.Dr. Warneek gabe Ephorus.

1922

·Ojak Pandita di Jakarta dohot guru di Padang pinaborhat ni sending Batak
·20 juni ,sinode godangnaparjolo di Seminarium Sipoholon

( http://www.hkbp.or.id)